Manusia dilahirkan tanpa sadar membawa potensi. Pengembangan potensi tidak terjadi secara insidental tetapi membutuhkan fase dan tahap yang harus dijalani dan terkadang tidak jauh-jauh dari cobaan rintangan dan tantangan yang banyak memerlukan perjuangan fisik, psikis, maupun material. Sudah barang tentu tertawa, kepuaasan dan semua keinginan terpenuhi merupakan dambaan bagi setiap manusia. Hanya keberadaan masing-masing individu bisa eksis melalui pengembangan potensi yang dimilikinya.
Melalui pitutur jhon Lock (teori empiris) dengan kata mutiaranya “ manusia bagaikan kertas putih yang bersih dan kosong dan lingkunganlah yang bisa mengisi “. Ungkapan tersebut menitik beratkan pentingnya lingkungan terhadap manusia. Meskipun manusia tercipta dengan beberapa potensi, belum bisa menjamin untuk menjalani kehidupan secara memuaskan tanpa disertai dari luar individu.
Lingkungan penting bagi individu yang mampu menjawab tantangan di tengah pusaran globalisasi adalah melalui wahana pendidikan. Pendidikan sejatinya dapat meningkatkan dan mengembangkan potensi yang dimiliki manusia. Selebihnya esensi dari pendidikan sendiri adalah mengantarkan individu yang tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak merasakan menjadi merasakan, dari tidak menghayati menjadi menghayati. Melalui wahana pendidikan dapat dibangun manusia yang berkualitas pada sektor-sektor pembangunan bangsa. Pengelolaan dan manajemen yang sistemasis dan terarah membuat pendidikan menjadi terbaca keberadaannya, sedangkan masyarakat memiliki harapan besar terhadap penyelenggaraan pendidikan agar out put yang dihasilkan mampu berfikir sebelum bertindak, berperilaku sesuai norma serta dapat meneruskan kebudayaan-kebudayaan yang ada dimasyarakat setempat. Namun sebagian individu mempunyai tujuan lain agar dipermudah mencari pekerjaan walau dengan embel-embel mencari ilmu.
Apapun alasan dan tujuan manusia menghadapi pendidikan keduanya tidak pernah bisa dipisahkan. Pendidikan formal utamanya sebagai program pemerintah dalam upaya pencerdasan kehidupan bangsa sebab ini amat menentukan dalam pembentukan karakter manusia. Dalam prosesnya pendidikan formal disekolah mengacu pada kegiatan belajar mengajar antara peserta didik dan pendidik (guru) di lingkup sekolah. Guru berusaha menciptakan interaksi edukatif yang bermakna bersama peserta didik agar mampu menyerap ilmu pengetahuan dan dapat di bangun karakter positif siswa. Pendidikan pula semestinya menanamkan dan menyeimbangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spritual.
Meskipun program, tujuan sampai ada proses akhir pendidikan cukup jelas, masih saja terkadang ada permasalahan-permasalahan yang seharusnya tidak terjadi. Bahkan peristiwa itu dapat membentuk siklus kegiatan rutin, sehingga pendidikan yang begitu banyak mengandung makna sekarang malah penuh persoalan yang tidak kunjung selesai. Anehnya lagi titik keparahan tersebut ada pada input, proses, out put yang merupakan inti dari pendidikan. Pada input pendidikan formal/ persekolahan dalam tulisan ini adalah siswa. Fokusnya, ketika memasuki tahun ajaran baru yang pasti setiap orang tua maupun siswa itu sendiri berkeinginan untuk bisa masuk pada sekolah yang favorit atau sekolah yang lebih berkualitas.
Sejalan dengan keinginan yang menggebu-gebu sedangkan kemampuan yang belum mampu memenuhi standar nilai membuat mereka ragu untuk diterima. Sehingga jalan pintas harus ditempuh dengan kemampuan finansial yang cukup, berani membayar berapapun dengan harapan agar bisa diterima di sekolah itu. Walaupun subyek penerima suap itu oknum tenaga tenaga pendidikan namun mempunyai imbas yang merata pada dunia pendidikan. Padahal pendidikan tidak mau disentuh dengan uang yang bukan haknya. Kalu kita terus-menerus apa kata dunia pendidikan kita…..!!, karena pendidikan sudah dihujani kasus kolusi berkepanjangan, yang sebenarnya dilakukan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Persoalan tersebut betul-betul perlu mendapatkan penanganan yang serius bagi tiap lembaga pendidikan supaya mampu mengantisipasi dan lebih bisa mengedepankan kujujuran data.
Kemudian pada “proses” dalam spesifikasi ini proses merujuk pada kegiatan belajar mengajar. Ketika ditelusuri lebih jauh lagi dan difahami secara mendalam, pendidikan masih menitik beratkan terhadap ranah kognitif, artinya proses pendidikan banyak menanamkan pada kecerdasan intelektual saja. Padahal dalam pembangunan manusia seutuhnya bukan peletakan pada dimensi pengetahuan saja melainkan dimensi lain juga harus dipenuhi, sehingga peserta didik memiliki kecerdasan yang paripurna dan seimbang antara IQ, EQ, dan SQ. Implikasinya adalah pendidikan hanya mampu menghasilkan siswa yang berilmu tinggi saja, dan tidak heran out put pendidikan bisa bertindak yang amoral. Maka afektif psikomotorik perlu diberi penekanan pula.
Dirjen pendidikan dasar dan menengah Departemen Pendidikan Nasional, mengungkapkan dalam proses pembelajaran, guru tidak berfokus pada hasil (out put) yangharus dicapai, tetapi sekedar memenuhi target administratif sesuai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Lebih dalam lagi, seorang guru dalam mengajar hanya sekedar menggugurkan tugasnya saja bukan karena panggilan untuk memenuhu standar hasil maksimal. Kejadian ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena pendidikan akan selamanya menghasilkan siswa yang kerdil dalam berfikir, apriori terhadap perubahan dan perkembangan serta sulitnya mereka berkontribusi dalam rangka pemecahan masalah. Memulai hal seperti demikian mungkin dapat meningkatkan profesionalitas tenaga pendidik dan rekrutment lebih selektif.
Begitu pula dengan “ out put”, salah satu pelulusa out put pendidikan saat ini dengan diselenggarakannya Ujian Akhir Nasional (UAN) meskipun banyak kriteria pelulusan yang lain. Tetapi sektor UAN menempati posisi perhatian yangserius bagi setiap lembaga pendidikan walaupun dalam penyelenggaraan UAN memiliki nilai positif namun dibalik itu ada kekurangan yang harus diperbaiki. Khususnya jenjang pendidikan sekolah di SMP maupun di SMA harus bisa merespon dan menghadapi tantangan UAN agar siswa lulus 100%. Mungkin bagi sekolah yang bermutu dapat melaksanakan biasa saja, tetapi untuk sekolah yang dianggap kurang bermutu dan masih ada pada taraf tanggung-tanggung harus berada dalam posisi dilema. Artinya calon out put yang akan mengikuti UAN masih ada pada keadaan remang-remang dan ragu untuk lulus, sedangkan jika gagal dalam pelulusan, sekolah itulah menanggung malu yang berkepanjangan. Dengan alasan nama baik sekolah, kini pendidikan lagi-lagi harus terbaca permasalahannya, dibuktikan banyaknya kebocoran soal UAN, jual beli kunci jawaban dan guru ikut memberi jawaban yang sebenarnya membunuh kometensi out put pendidikan.
Dilain pihak peserta didikan sebagai out put pendidikan masih harus menanggung beban berat dan goncangan psikologis disebabkan standar UAN yang semakin meningkat, padahal bisa jadi yang semestinya pendidikan mengembangkan potensi sesuai bakat minat maka pendidikan dapat mencederai bakat dan minat siswa.
Dengan demikian tugas pelaku pendidikan dibantu segenap masyarakat dan pemerintah untuk memperbincangkan pendidikan yang dilanda permasalahan cukup banyak, agar ditemukan titik penyelesaian. Bagi calon pendidik agar mempersiapkan dirinya secara mantap untuk menyembuhkan pendidikan dari deritanya melalui kegiatan pembelajaran yang bermakna.
Oleh:
TRI SUTRISNO